Saat hujan semakin lebat, peristiwa yang tragis menimpaku. Sebuah tragedi yang tak akan terlupakan hingga mengguncangkan batinku.
"Hei Bos, apa kita bunuh saja anak ini?" kata pria berjenggot yang membawa pedang samurai
"Jangan! Kita biarkan saja. Apalagi dia hanya anak kecil yang baru 10 tahun tumbuh. Ha.....ha.....ha....." ucap orang bertopi dan bermantel hitam dengan rokok yang ada di tangannya.
Tubuhku gemetaran karena melihat kedua orang tuaku telah dibantai di depan mataku. Dan ketakutanku makin memuncak ketika laki-laki bertopi hitam itu mendekat dan membisikkan sesuatu.
"Helene, marahlah, dendamlah kepadaku dan balaslah dendam mereka kepadaku 'BOB JONHSEN'. Ha.....ha.....ha....." dengan diiringi tawanya, mereka semua pergi meninggalkan aku sendiri.
"Ibu!!!" teriakanku membangunkanku dari mimpi burukku. "Sial, mimpi ini lagi?! Akan kubalas kau Bob" dengan mengepalkan tangan aku bersumpah.
Tok-tok-tok
"Nona Helene, Nona Helene anda tidak apa-apa?"teriak bibi Siti dari balik pintu kamarku.
"Tak pa-pa, Bi. Tenang saja, sebentar lagi aku turun ke bawah." ucapku menenangkan kegelisahan bibi.
"Ya Nona, saya akan menunggu di bawah." ucapnya meninggalkan kamarku.
Dan tak lama, aku pun sudah bersama bi Siti makan di ruang makan.
"Bi, aku ingin jalan-jalan." ucapku dengan mengunyah roti isi daging.
"Tapi Nona, anda kan butuh pengawasan" dengan wajah tak tenang dia mengucapkannya
"Tak apa, Bi. Aku kan pergi bersama Samuel dan Rizky."
"Ya kalau begitu Bibi tak terlalu cemas. Tak apa lah. Dan ingat pesan Bibi, kau harus berhati-hati." katanya sambil berbisik di telingaku.
.....*.....*.....
Di depan pintu, sudah ada dua laki-laki yang sedang menungguku.
"Sudah lama ya?" sapaku saat keluar dari rumah
"Belum juga." jawab lelaki berkacamata dengan pakaiannya yang khas model jepang modern.
"Iya Rizkyyy, belum lama tapi aku udah capek nunggu nih" bantah seorang lelaki yang ada di samping Rizky dengan buku komik dan model rambutnya yang indah.
"Samuel?" ucapku sambil berlari menghapirinya.
"Apa?" ucapnya sambil menggaruk kepalanya yang mungkin saja tidak gatal.
"Jadi pergi tidak?"
"Eh....." sempat terfikir olehku sesuatu karena perkataan Rizky barusan.
"Hei, Helene!" dengan menepuk pundakku Samuel berharap aku segera sadar.
"Ah iya, ayo pergi." ucapku seakan tak terjadi apa-apa.
.....*.....*.....
Kemudian kami bertiga pergi menggunakan mobil milik Rizky. Setelah mobil melaju, terasa olehku banyak fikiran tentang Bob. Dan aku pun baru sadar bahwa selama delapan tahun ini, aku telah mencari informasi dimana Bob berada. Dan saat aku dapatkan informasi itu dua minggu yang lalu, aku merasa hatiku hancur dan tak tahu lagi apa yang terfikirkan olehku saat itu.
Informasi itu berkata bahwa Bob sudah mati dua tahun yang lalu dengan meninggalkan sepucuk surat kepada seorang kakek dan surat itu harus diberikan kepadaku. Aku semakin bingung dengan fikiranku sendiri. Tanpa berfikir panjang lagi, kuambil secarik kertas dari sakuku. Dan saat aku membukanya, Samuel dan Rizky melihatku.
"Ada apa sih?"
"Em....tak apa-apa. Lanjutkan saja."
London, 25 August 2010
Yang tersayang,
Helene di
Indonesia
Helene, mungkin saat kau membaca suratku ini aku telah tiada. Aku kembali ke Inggris bukan karena ingin lari darimu. Tapi karena penyakit kankerku yang makin hari makin parah. Mungkin karena aku terlalu banyak merokok dan minum miras. Ha.....ha....ha.....
Sebenarnya aku dan orang tuamu adalah teman. Dalam perusahaan, kami sangat akrab seperti saudara kandung. Tapi, karena perintah dari atasan, aku harus melakukannya yaitu membunuh kedua orang tuamu. Aku sangat menyesal tapi apa boleh buat ini adalah kewajibanku sebagai mafia.
Mungkin kau masih dendam padaku. Tapi maaf sekali lagi maafkan aku Helene. Aku sudah tak sanggup lagi untuk melawanmu. Janjiku hanyalah bualan kosong.
Maaf, maaf, maafkan aku Helene tersayang. Maaf
Dari,
BOB JOHNSEN
Dan tanpa aku sadari, setelah membaca surat dari Bob butir-butir air mata mulai membasahi pipiku.
"Helene tenanglah." ujar Rizky menenangkanku
"Nangisnya nanti saja saat sampai ditujuan"
"Dasar Samuel gila! Gak ngerti apa kalau aku lagi sedih." omelku kepada Samuel yang bicara dengan nada tak sopan. Menjengkelkan!!
.....*.....*.....
Setelah sampai ditujuan, segera saja kulangkahkan kaki keluar mobil dengan tiga karangan bunga yang kubeli di perempatan jalan sebelum ke sini. Terlihat olehku suasana yang sepi serta suram tetapi sangat damai dan menyayat hati bagi yang melihatnya.
"Ayo kita segera berangkat saja!" ajak Rizky memulai perjalanan
"Em.....ah.....iya baiklah." ucapku agak gagap. Tak lama kemudian Rizky berhenti di sebuah batu nisan yang tak asing lagi bagiku.
"Bukankah ini tempatnya?" tanya Samuel mengagetkanku
"Helene ?"
"Aku tahu kok Rizky. Sudahlah!" kukatakan sambil melangkah ke samping makam itu dan berdoa.
Ayah, Ibu, aku berfikir selama ini untuk apa aku hidup. Apakah hanya untuk balas dendam? Kupikir bukan itu, tapi fikiranku hanya terpusat pada kematian kalian. Apa salahku Ibu? Apakah aku terlalu tamak akan dendam? Apakah aku akan menyia-nyiakan hidupku serta orang-orang yang aku sayangi? Ibu, Ayah maafkanlah putrimu ini, maafkanlah..... Ayah..... Ibu. Dan tak bisa kubendung, air mataku pun mengalir dengan cepatnya. Semakin lama aku di sini, semakin banyak pula air mata yang keluar.
"Ayo pergi! Sudah cukup kan? Bukankah ada tempat lain yang ingin kau kunjungi, Helene?" ucapan keras Samuel menyentakkanku dari kesedihan.
"Oh iya. BEnar juga ucapanmu, Samuel." tersenyum kepada kedua teman yang setia menungguku.
Kami pun segera bergegas pergi ketempat 'Bob'. Ya, dimana Bob dikubur? Dia bilang ingin dikubur dekat dengan orang tuaku. Oleh karena itu, aku pun tak sulit mengunjungi makamnya.
.....*.....*.....
Setibanya di batu nisan ketiga dari belokan pertama setelah makam kedua orang tuaku, kujumpai nama Bob di sana. Dan segera saja aku berdoa untuknya. Dan di sini pulalah aku menangis dan mengaku kepada Bob dengan nada yang sangat keras.
"Kenapa.....kenapa.....kaenapa, Bob? Kenapa kau tega tinggalkan aku disaat hatiku telah mantap seperti ini? Apakah kau ingin membuatku mati muda? Apakah kau ingin membuatkua menderita? Aku tak bisa terima! Hiks.....hiks.....hiks....." sambil berteriak dan memukuli tanah, aku pun terduduk dengan air mata yang tak ragu-ragunya keluar.
"Tenanglah, Helene. SEmua ini pasti ada hikmahnya." kata Rizky sambil memegangi pundakku. Dan tiba-tiba saja Samuel memelukku. Spontan saja aku kaget. Tapi aneh, Rizky hanya tersenyum padaku.
.....*.....*.....
Ajaib sekali, ini sungguh suatu hikmah. Seminggu setelah kejadian yang menyedihkan itu. Aku dan Samuel jadian. Aku senang, senang sekali. Dan Rizky membuka membuka cafe yang nyaman untuk dikunjungi. Aku sungguh beruntung telah mempunyai dua orang teman yang baik padaku. Padahal sebelumnya aku fikir Bob adalah penyebab keterpurukaknku. Tapi sekarang, dia sekaligus telah menjadi 'guru' yang baik bagi perjalanan hidupku yang selanjutnya.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar